Sepertinya sudah bukan rahasia lagi bahwa banyak orang awam yang menganggap bahwa kehadiran iklan ketika sedang berselancar di internet adalah sebuah hal yang cukup mengganggu. Sebagai contoh, iklan yang ada dalam bentuk banner ads.
Secara ilmiah, telah ada penelitian yang mengungkapkan bahwa untuk iklan jenis banner ini otomatis tidak akan dihiraukan oleh otak audiens. Tak hanya itu, pengguna internet bahkan telah “terprogram” untuk tidak menghiraukan area tertentu dari halaman situs yang dikenal dengan dead zone. Dead zone tidak dianggap oleh otak karena sudah secara otomatis menganggap akan ada ads di sana. Dari kondisi ini, kita bisa mengatakan bahwa banner ads bukan merupakan jenis promosi yang ampuh bagi brand.
Keadaan ini membuat para marketers memutar otak untuk menghasilkan jenis online advertising lain yang dapat menjangkau audiens secara efektif. Dari sini, muncullah native advertising. Saat ini, native advertising tengah naik daun karena dianggap lebih bersahabat bagi para pengguna internet. Apakah ini hanya anggapan semata atau memang telah terbukti dan teruji?
Ternyata, pengguna internet tidak seketat itu dalam soal melihat iklan. Kebanyakan konsumen sebenarnya menerima, namun hanya jika iklan tidak memaksa mereka untuk melihat iklan tersebut. Bahkan konsumen sendiri tidak merasa keberatan jika memang iklan yang muncul adalah iklan yang sesuai dengan kebutuhan mereka, dan yang lebih penting lagi, iklan tersebut hadir dalam format yang membaur dengan konten, atau dalam kata lain, native ads.
Kecenderungan ini hadir karena karakteristik konsumen modern yang semakin mengedepankan pengalaman personal dan kemampuan untuk dapat bebas memilih sesuai dengan preferensi mereka. Native advertising memberi kebebasan ini bagi konsumen. Tak hanya itu, native advertising juga memfasilitasi brand untuk dapat berinteraksi dengan audiensnya. Konsumen dengan sukarela membaca konten yang bersifat sponsor maupun promosi.
Selain itu, penempatan native ads yang berbaur dengan konten juga menghasilkan viewability yang lebih tinggi daripada iklan tradisional. Audiens melihat 7 dari 10 iklan yang berada dalam zona konten, lebih banyak daripada iklan yang berada di dead zone di mana hanya 31% dilihat oleh audiens. Dari sisi kognitif sendiri, hasilnya juga tak jauh berbeda. Bahkan saat ads tradisional berhasil masuk dalam jarak pandang audiens, hanya 37% yang diproses secara kognitif. Di sisi lain, iklan native memberi hasil yang lebih baik dengan memperoleh jumlah processing 2 kali lipatnya iklan biasa.
Dari data di atas, kita bisa melihat bahwa ada beberapa kesimpulan yang dapat ditarik. Iklan sebenarnya tidak akan menjadi masalah bagi audiens dan bahkan akan sukses menarik perhatian mereka selama keberadaannya tidak menjadi paksaan. Selain itu relevansi dari iklan yang ditayangkan untuk audiens yang melihat juga akan semakin menambah efektivitasnya.